Senin, 28 Desember 2009

Membongkar Gurita Cikeas

IST
Uki M Kurdi
Senin, 28 Desember 2009 | 10:49 WITA

SELAMAT hari Senin. Di penghujung tahun 2009 ini marilah kita merenung sejenak untuk mengkalkulasi langkah-langkah kita yang salah. Setelah itu mari kita rumuskan langkah-langkah besar apa yang akan kita capai di tahun 2010.

Pengamat hubungan internasional, George Junus Aditjondro Phd, saat ini sedang dibicarkan banyak orang. Utamanya setelah bukunya yang bertitel  'Membongkar Gurita Cikeas di Balik Skandal Bank Century' (terbitan Galang Press) diluncurkan dua hari lalu di Yogjakarta.

Saya mengenal Aditjondro sejak awal tahun 1980-an ketika saya masih menjadi wartawan yang bertugas di lapangan, hingga awal tahun 2000-an setelah saya menjadi pemimpin redaksi sebuah tabloid politik di Jakarta. Sebagai seorang nara sumber berita, Aditjondro sangatlah menyenangkan. Dia bisa dihubungi kapan saja, baik lewat telepon maupun e-mail, meski kemudian dia berdomisili di luar negeri untuk beberapa saat.

Sejauh yang saya kenal, dari dulu Aditjondro memang selalu berlindung dalam "benteng kajian ilmiah." Karena, dia memang seorang akademisi sekaligus pengamat politik dan sosial. Alat yang digunakan untuk melakukan kajiannya tentulah berupa metodologi. Dan, sudah barangtentu Aditjondro mengklaimnya sebagai metodologi yang sahih dan ilmiah.

Sebagai nara sumber, dari dulu Aditjondro disukai wartawan karena banyaknya data dan informasi yang dia miliki. Kepada wartawan yang mewancarainya, dia selalu mengklaim bahwa data yang disampaikannya "valid" atau "ilimah" atau dari "sumber yang kuat dan bisa dipercaya."
Maka, ketika heboh mengenai Membongkar Gurita Cikeas mencuat ke permukaan, memori saya pun saya putar flash back untuk menghidupkan kembali persepsi saya terhadap Aditjondro yang dulu pernah menjadi dosen di Universitas Kristen Satyawacana Salatiga itu. Kesimpulan besarnya --dari sudut pandang saya-- buku tersebut tidaklah mengejutkan.

Kenapa? Karena content issue seperti yang ditulis Aditjondro dalam bukunya itu memang sudah menjadi spesialisasi "mainan" lelaki yang sejak usia muda memang sudah bertubuh tambun tersebut.

Pertama, spesialisasi yang dimaksud adalah, dari dulu --sebagai ilmuwan sosial bergelar Doktor-- dia memang sudah dan selalu melakukan kajian terhadap perilaku politik seorang kapala negara. Kajian ini sudah ia mulai sejak Presiden Soeharto masih berkuasa, dan terus berlanjut hingga kini.

Kedua, spesialisasi yang ditekuni Aditjondro adalah kajian atas perilaku politik yang dilakukan oleh tokoh-tokoh yang memiliki peran kunci yang berada di lingkar utama (ring satu) yang sangat berperan dalam politik (parpol), birokrasi, dan militer.

Ketiga, spesialisasi Aditjondro adalah "mengubek-ubek" kesalahan dan dosa-dosa keluarga Cendana. Keempat, Aditjondro sekali-kali menyentuh masalah tindak pidan korupsi dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Ini pun ia lakukan tetap dalam koridor kajian peran tokoh penguasa poitik dan militer yang terlibat dalam pelanggaran tersebut.

Sebelum menulis buku Membongkar Gurita Cikeas, Aditjondro juga pernah menulis tentang korupsi di Istana Presiden. Tahun tahun 2006, pria yang pernah dicekal oleh rezim Soeharto ini menulis buku berjudul  Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi dan Partai Penguasa. Ia juga pernah menulis buku berjudul Guru Kencing Berdiri Murid Kencing Berlari. Buku itu mengkritik habis perilaku koruptif di era Soeharto dan Habibie.

Namun begitu, Aditjondro tetap Aditjondro. Ia tidak pernah menjadi tokoh yang populer di bidangnya. Dengan kemampuan kajian akademisinya, ia tidak pernah menjadi sosok yang hebat. Misalnya menjadi orang hebat, karena mampu menyajikan data dan analisa tentang kesahalan-kesalahan presiden, tokoh politik, tokoh militer, mapun keluarga Cendana.

Perjalanan flash back saya tentang Aditjondro kemudian sampai pada kesimpulan bahwa, analisis ilimah Aditjondro secara umum masih menggunakan data sekunder yang perlu dilakukan verifikasi di sana-sini. Data sekunder Aditjondro itu --setelah saya lakukan pendalaman-- beberapa diantaranya ternyata merupakan data yang diperolehnya dari "open sources," bukan data yang masuk dalam kategori "top secret."

Maka, bila terhadap terbitnya buku  Membongkar Gurita Cikeas kemudian Aditjondro kebanjiran protes, tidak saja dari para pakar yang mengkritisinya, maupun dari sejumlah toko buku yang melakukan resistensi untuk menjual bukunya, hal tu tentu bisa dimaklumi.

Dalam Membongkar Gurita Cikeas, Aditjondro menjelaskan bahwa pesan inti yang disampaikannya dalam buku tersebut adalah, "Kemenangan SBY dalam satu putaran itu ditopang oleh hal-hal yang berbau pelanggaran hukum."

Inti masalah inipun secara terbuka sudah dipegang oleh sejumlah wartawan. Bedanya terletak pada persoalan, siapa yang lebih berani mengungkapkan informasi itu dan siapa pula yang masih berhati-hati mengungkapkannya karena masih harus menunggu dilakukannya upaya verifikasi, cek dan kroscek, terhadap sujumlah data.

Namun demikian, mungkin saja kali ini Aditjondro jauh lebih sempurna dalam mengumpulkan berbagai data termasuk malukaknnya dengan teknik investigasi, sehingga apa yang dia tuangkan dalam buku terakhinrya itu adalah sebuah kebenaran. Wallahu 'Alam.

Mohon untuk terbiasa malukan verifikasi terhadap apa saja yang kita baca dan dengar. Lakukan pula cek dan kroscek. Agar di tahun  2010, kehidupan kita  jauh lebih berkualitas, karena kita lebih kritis dibanding tahun sebelumnya.
Selamat Tahun Baru 2010.
Salam.

0 Comments:

Post a Comment